Kerudung Merah Mempesona - Cerpen

 


Ketika sang senja mulai terlihat. Merdu suara burung-burung yang beterbangan di atas permukaan laut. Dengan perpaduan suara gerombolan ombak yang saling mengejar. Hembusan angin yang menyejukkan. Tenang tanpa pikiran di pasir pantai Tanjung Aan, Aku berbaring pada lounge chair dan menikmati ciptaan tuhan yang indah mempesona. 

Tak jauh dariku dari arah kanan aku menoleh, terlihat lagi ciptaan tuhan yang indah mempesona sedang berjalan di depanku. Mata yang bersinar, hidung mancung, bibir kemerahan dengan senyuman kecil yang manis mempesona.

“Subhanallah,” dengan nada pelan aku mengucapkannya. Gadis itu melirik ke arahku, aku pikir ia mendengar ucapanku tadi.

Ku pandangi ia yang berjalan melintas di hadapanku. Hembusan angin yang kuat melepas kerudung merah gadis manis itu, kerudungnya terbawa angin sampai ke tempatku berbaring. Entah karena ikatan yang kurang kuat atau hembusan angin yang terlalu kuat. Kupandangi ia yang tanpa kerudung itu, hitam lurus rambut yang panjangnya sepundak. Sungguh, ciptaan tuhan yang indah mempesona itu tak henti aku pandangi.

“Mas, tolong kerudung itu,” ucap gadis itu sambil menoleh ke arahku dengan senyuman kecilnya.

“Ini mbak,” kuhampiri gadis itu dan memberikan kerudung merahnya.

“Terima kasih mas,” ucapnya dengan senyuman kecilnya lagi.

“Hmm” Aku terdiam. 

“Oh, iya, perkenalkan namaku Puspa , aku dari Sidoarjo,” berniat mengulurkan tangan kanannya, tapi tidak jadi, ia sadar aku bukanlah mahramnya.

“Kenalkan juga, namaku Ahmad, aku dari Gresik”.

“Owalah, iya mas, kamu ke sini sama siapa?” tanya Puspa, sambil menengok tempatku berbaring tadi.

“Aku sendirian, kamu sama siapa..?”

“Aku juga sendirian mas, niatnya mau rekreasi sama keluarga, tapi sibuk semua,” Puspa senyum kecil dengan kepala menunduk.

“Hmm,” aku hanya diam memandang wajah Puspa.

“Matahari sudah turun, aku kembali ke Hotel dulu mas, kalau mau mampir datang saja, kamar nomor 22,assalamualaikum,” Puspa bergegas menuju Hotel.

“Waalaikumsalam,” aku senyum dan sedikit mengangguk.

Sang surya sudah tak menampakkan lagi sinarnya. Itu tanda bahwa hari sudah malam. Akupun kembali ke Kamar Hotel untuk mandi, sholat dan makan. Di Kamar nomor 15, di Kamarku, setelah selesai mandi dan sholat, ku rebahkan tubuhku ke sekumpulan kapuk yang empuk. Tak kusadari bayangan Puspa tadi sore melintas-lintas dalam pikiranku. Akupun senyum-senyum sendiri seperti orang gila yang tak punya dosa. Ketika itu terdengar suara keroncongan, suara itu ternyata berasal dari perutku yang mulai berdemo untuk meminta jatahnya. 

Aku tak tahan lagi, perut mulai keroncongan, Aku keluar dari Kamar nomor 15. Aku menuju Restoran yang ada di Hotel ini. Desain Restoran yang luar biasa, sungguh tempat ini adalah tempat makan yang sangat romantis. Di setiap meja makan pasti ada lilin yang ditutupi kaca. Kursi makan yang didesain membentuk gambar hati. Atap dan dinding yang terbuat dari kaca dengan aksessoris tanaman hias, sehingga memungkinkan wisatawan untuk melihat pemandang Laut Lombok dari ketinggian Hotel. Ditambah lagi, suguhan musik romantis di malam hari. Restoran ini memang sangat romantis, tapi sayangnya Aku tidak membawa, bahkan Aku tidak mempunyai pasangan.

Dari belakang, aku tampak melihat seorang gadis yang duduk sendirian dan gadis itu sepertinya Puspa. Ah, rasanya tidak mungkin itu Puspa. Aku datang menghampiri gadis itu. Ternyata memang benar, gadis itu adalah Puspa.

“Puspa,” aku menoleh ke arah Puspa.

“Loh, mas Ahmad, silahkan duduk mas,” sedikit terkejut dengan kedatanganku yang secara tiba-tiba.

“Iya, terima kasih, sudah lama disini?” tanyaku.

“Enggak kok mas, barusan aja dateng”

“Sudah pesen makan?”

“Belom”

Dengan secara yang kebetulan, Puspa masih belum memesan makan. Ini bisa menjadi kesempatan yang baik bagiku untuk lebih dalam mengenal Puspa.

“Tuan mau makan dan minum apa?” ucap pelayan restoran sambil memberikan menu makan malam ini.

“Kamu mau makan apa mas?” tanya Puspa sambil melihat-lihat menu makan malam ini.

“Samakan aja sama makananmu,” kupandangi mata Puspa yang selalu bersinar.

“2 Steak, 2 lemon ice,” ucap Puspa menoleh ke arah pelayan restoran.

“Baik, nyonya, mohon tunggu sebentar,” jawab pelayan restoran lalu pergi meninggalkan kami dan membawa kembali menu makan malam.

Bulan purnama menerangi malam kami dengan cahayanya yang terang. Alunan lagu – lagu romantis juga menemani makan malam kami. Sebuah lilin tertutup kaca membatasi Aku dan Puspa. Aku melihat Puspa, wajah sangat mempesona, mata yang bersinar, hidung mancung, bibir kemerahan dengan senyuman kecil manis mempesona. Aku melihatnya bagaikan sosok bidadari yang turun ke Bumi di Pantai Lombok. 

“Lihat, bulan purnama itu, bersinar terang menyinari tempat ini, seperti bola matamu yang bersinar menerangi hati kecilku ini,” Aku menunjukkan ke arah bulan, kemudian kutunjukkan letak hatiku dengan menatap mata Puspa.

“Hmm,” Puspa hanya tersenyum, dan menundukkan kepala.

“Alunan lagu romantis yang merdu ditambah lagi dengan senyuman manismu, menyembuhkan luka-luka lamaku.”

“Hmm,” lagi- lagi Puspa hanya tersenyum dan menundukkan kepalanya.

Malam mulai menjadi dingin. Dan akhirnya makanan yang kami pesan datang juga ke meja kami. Ku lihat Puspa begitu sopannya ketika ia menerima makanan dari sang pelayan restoran. Puspa mengangkat kedua tangannya dan memandangi makanannya, ia berdoa kepada tuhan agar makanan yang akan ia makan tidak sia-sia. Aku dan Puspa menikmati makanan yang disajikan pelayan restoran di tempat yang romantis ini. 

Disaat Aku makan ku pandangi mata Puspa, mata itu memiliki sinar yang terang. Tiap kali ia kupandangi, ia kadang-kadang juga memandangku dengan senyuman kecilnya yang manis mempesona. Dan entah mengapa, tiap kali aku memandangnya hati kecilku merasa aman dan nyaman. Sosok gadis dari Sidoarjo ini mampu membuatku terkagum- kagum dengannya. Paras wajahnya bak bidadari turun dari langit, tutur katanya lembut layaknya seorang kyai. Aku yakin setiap orang jika bertemu dan melihat matanya akan merasakan hal yang sama denganku.

Kami telah selesai makan malam. Kulihat Puspa menghabiskan makanannya bersih tanpa sisa, dan ia juga merapikan piring sendok dan garpu itu. Sungguh, Puspa sebenarnya adalah orang yang taat pada agama, ia selalu mengerjakan sunnah-sunnah Rasullullah SAW.

“Setelah ini kamu mau kemana?” tanyaku pada Puspa.

“Setelah ini aku foto-foto dulu, lalu Aku akan berkemas,” jawab Puspa.

“Berkemas?, memangnya kamu akan pulang kapan?” tanyaku dengan sedikit terkejut.

“Iya, Aku akan pulang besok pukul 07:00.”

“Oh, sama, Aku juga akan pulang besok pukul 07:00.”

“Hmm,” Puspa hanya senyum.

“Oh iya, katanya kamu mau foto-foto, boleh foto bareng nggk?” tanyaku dengan tersenyum.

“Iya, boleh kok mas,”

“Sini Aku tau tempat yang cocok untuk dijadikan spot foto,” ujarku, sambil menuntun Puspa ke arah dinding Restoran yang terbuat dari kaca, 

Aku dan Puspa menuju dinding Restoran yang terbuat dari kaca itu. Aku tidak memilih spot foto yang berada di luar Hotel, karena Aku tau suhu di luar Hotel sangat dingin. Aku dan Puspa mengambil banyak sekali jepretan foto dari jasa tuang foto, mulai dari berbagai pose dan gaya, dari foto berdua, hingga foto sendiri-sendiri. Aku melihat pada hasil jepretan foto yang tanpa filter kamera itu, kupandangi wajah Puspa yang mempesona seperti aslinya.

Malam semakin larut. Aku dan Puspa sudah puas mengambil banyak foto di tempat itu. Aku melihat pada wajah Puspa, dan sepertinya Puspa sudah tampak lelah dan mengantuk.

“Puspa, kamu mengantuk ya?” kutatap wajah Puspa yang tampak lelah dan mengantuk.

“Sedikit,” sambil menaham rasa mengantuknya.

“Sudah, kita kembali ke Kamar masing-masing saja, akan aku temani, kamu juga kan mau berkemas untuk besok.”

“Iya mas.”

Aku dan Puspa turun dari Restoran Hotel yang berada di puncak Hotel menuju ke Kamar masing-masing. Kami berdua menaiki lift. Kulihat Puspa nampak sudah kelelahan, dan mengantuk. Pintu lift terbuka dan itu artinya sudah sampai di tingkat Kamar kami berada. 

“Sudah sampai disini mas, terima kasih menemani, assalamualaikum,” Puspa menoleh ke arahku dengan tersenyum, walaupun sebenarnya ia mengantuk.

“Iya sama-sama, waalaikumsalam.”

Aku dan Puspa masuk ke Kamar masing-masing. Puspa, di Kamarnya tentu ia pasti berkemas pulang untuk besok. Begitupun sama halnya dengan Aku. Selesai berkemas, aku melaksanakan sholat isya dan kemudian beristirahat pada kumpulan kapuk yang empuk.

***

Hari mulai pagi, Aku terbangun dan bersiap untuk ke Bandara menuju kampung halaman. Pagi yang cerah di wilayah Lombok, mengingatkanku pada Puspa. Akankah Aku nanti bisa bertemu Puspa.

Di Bandara, Aku datang lebih awal. Dalam pesawat Aku duduk sendirian tidak ada seorangpun disisi bangku ku. Aku melamun tentang Puspa. Dan seketika itu aku terkejut, Puspa tiba-tiba datang kepadaku, dan ia membicarakan banyak hal denganku. 

“Oh iya mas, sebenarnya kamu ini orang mana?” tanya Puspa.

“Aku ini orang Gresik, Menganti, lah kamu ini aslinya mana?”

“Aku ini orang Kepuh Kiriman, Waru, Sidoarjo.”

Banyak sekali hal yang kami bicarakan. Tak hanya bertanya-tanya, kami pun juga bercanda tawa saat itu. Saat itu ia tertawa. Aku melihat tawanya yang sungguh mempesona. Dia adalah gadis yang sempurna bagiku. 

Setelah banyak bicara dan bercanda tawa. Aku lihat ia tertidur dengan wajah yang mempesona. Secara perlahan wajahnya itu mendekati pundakku. Secara yang tak disengaja itu pipinya telah menyentuh pundakku. Aku tidak berani untuk membangunkannya, sehingga aku biarkan pipi empuknya mengenai pundakku. 

Tanda dari pramugari bahwa pesawat telah mendarat di Bandara Juanda, membangunkan Puspa dari tidurnya. Kulihat ia masih tetap mempesona meskipun habis tidur lelap. Aku dan Puspa keluar dari pesawat dan hendak menuju ke Kampung halaman masing-masing.

“Puspa, hati-hati dijalan ya.”

“Iya mas,kamu juga, assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Aku dan Puspa sudah jalan ke Kampung halaman masing-masing. Ketika tengah perjalanan, Aku teringat Puspa, dan aku ingin menghubunginya. Sialnya, tapi Aku sampai lupa untuk meminta nomor handphone gadis yang seperti bidadari itu. Jadi Aku tidak bisa menghubunginya. Mungkin aku tidak akan bisa berjumpa dengan Puspa lagi, karena aku tidak bisa menghubunginya. Ataukah mungkin aku akan bisa berjumpa dengannya lagi. Entalah itu semua adalah takdir dari sang maha kuasa. Aku hanya bisa pasrah menerima keadaannya, dan Aku menunggu untuk dipertemukan dengan Puspa lagi.

***

0 Response to "Kerudung Merah Mempesona - Cerpen"

Posting Komentar

Blog ini dilindungi oleh DMCA