M. Shoim Anwar
merupakan seorang sastrawan Indonesia kelahiran Jombang. Selain merupakan
seorang sastrawan, Ia juga merupakan seorang dosen di Universitas PGRI Adi
Buana Surabaya. Karya-karyanya sering dipublikasikan di koran Jawa Pos dan di berbagai
situs internet, salah satunya ialah klippingsastra.com. Karya-karya M Shoim Anwar sering kali
mempresentasikan persoalan-persoalan sosial, hukum dan politik di negara
Indonesia yang dibungkus dengan cerita menarik, sehingga menarik minat pembaca.
Pada pembahasan kali
ini, saya akan membahas kritik dan esai pada cerpen yang berjudul “Sorot Mata
Syaila”, “Tahi Lalat”, “Sepatu Jinjit Aryanti”, Bambi dan Perempuan
Berselendang Baby Blue”, dan “Jangan ke Istana Anakku” karya M Shoim Anwar. Kritik
dan esai kelima cerpen tersebut berfokus pada permasalahan sosial, hukum dan
politik di Indonesia.
Dalam kelima cerpen
tersebut dapat dinilai bahwa kondisi sosial, hukum, dan politik di Indonesia hanya
menguntungkan kaum borjuis atau
penguasa,
dan menyengsarakan rakyat jelata. Hal itu biasanya kita kenal dengan istilah
“Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin”, “Tajam ke bawah dan
tumpul ke atas”. Dari kelima cerpen tersebut kekuasaan sering kali disalahgunakan, baik kekuasaan
tingkat terkecil hingga kekuasaan tertinggi. Penyalahgunaan kekuasaan sudah
terjadi pada tingkat yang paling bawah yakni lurah (kepala desa), seperti yang
tertuang dalam kutipan cerpen Tahi Lalat berikut:
Jujur
kukatakan, Pak Lurah juga sering menggunakan cara-cara kotor. Selama menjabat,
tidak sedikit warga yang kehilangan sawah ladang dan berganti dengan perumahan
mewah. Warga yang tinggal di tempat strategis, melalui perangkat desa Pak
Bayan, dirayu untuk menjual tanahnya dengan harga yang lumayan mahal. Begitu
tanah-tanah yang strategis itu terlepas dari pemiliknya, Pak Lurah semakin
gencar membujuk yang lain dengan cara memanggilnya ke kantor kelurahan.
Pada kutipan tersebut,
dapat diketahui bahwa penyalahgunaan kekuasaan setingkat kepala desa (lurah)
pun terjadi di negeri ini. Dikatakan lurah tersebut menggunakan cara yang licik
demi kepentingan pribadinya. Tak sedikit pun warga yang kehilangan sawah ladang
karena bujuk rayu Pak Lurah.
Kesewenang-wenangan
dalam menggunakan kekuasaan tidak hanya terjadi di tingkat lurah saja. Pada
kenyataannya, lembaga atau instansi yang bertugas atau yang berkewajiban
sebagai penegak keadilan atau hukum juga menyalahgunakan kekuasaannya demi
kepentingan pribadi. Hal ini memang terdengar aneh di telinga. Namun, seperti
itulah fakta yang ada di Indonesia, seperti yang sudah dituangkan M Shoim Anwar
pada kutipan cerpen Bambi dan Perempuan Berselendang Baby Blue berikut:
“Aku ingin bicara,” kata saya di mulut
toilet.
“Bicara apa?” Bambi mengarahkan
pandangan ke muka saya.
“Putusanmu. Mengapa aku kau kalahkan?”
“Aku sudah mengusahakan agar kau yang
menang di pengadilan, tapi tak ada dissenting opinion.”
“Bagaimana ada, wong hakim tunggal, cuma
kamu saja!”
“Sudah saya mintakan pendapat di luar
sidang.”
“Yang mimpin sidang kan kamu. Dengan
hakim tunggal mestinya kau bisa putuskan sesuai janjimu!”
Bambi tampak sangat tidak nyaman.
Wajahnya memerah, dia lihat ke segala arah. Sengaja saya menghadang langkahnya
agar tidak menghindar. Saya pun sengaja mengeraskan suara agar didengar banyak
orang.
“Pengacara tergugat pintar. Dia bisa
menggugurkan tuntutan jaksa.”
“Tapi mengapa dulu kamu mendorong-dorong
aku agar menggugat perkara itu. Kamu panas-panasi aku. kamu menjanjikan akan
memenangkan aku. Terus untuk apa kamu minta uang segitu banyak yang katany auntuk minta tolong pada anggota
majelis lainnya? Kau bagikan pada siapa saja uang itu? Atau kau nikmati
sendiri?”
“Jangan bicara seperti itu. Kamu bisa
dikenakan pasa perbuatan tidak menyenangkan dan mencemarkan nama baik.”
“Aku tidak bodoh. Saat penyerahan uang
itu di rumah, aku sudah pasang CCTV agar bisa merekam semuanya. Sudah telanjur
basah.”
Bambi sontak terperangan lagi, wajahnya
warna bunga waribang. Dia berusaha lepas dari blockade. Saya menghalanginya
dengan merentangkan tangan.
“Kamu bisa banding kalau tidak puas,”
katanya kemudian.
“Itu rusan nanti!”
“Masih ada waktu tiga hari,” Bambi
mengacungkan jarinya.
“Di pengadilan tinggi yang ngurusi sudah
beda. Omongnya saja bisa memenangkan kasus. Mana buktinya? Gombal!”
Dari kutipan cerpen di
atas dapat disimpulkan, adanya seorang hakim yang menyalahgunakan kekuasaannya
dengan menerima uang suap agar memberikan kemenangan kepada penyuap atas kasus yang
diperkarakan di pengadilan. Kenyataan
yang sungguh tragis, seorang hakim yang semestinya berperilaku adil justru
dapat menerima uang suap begitu mudahnya. Apa yang diceritakan M Shoim Anwar
dalam cerpen tersebut tidak jauh berbeda dengan kondisi yang ada di Indonesia
sekarang. Banyak terjadi kasus penyuapan hakim, bahkan hingga setingkat
kejaksaan agung.
Obral janji-janji palsu
mungkin sudah menjadi makanan sehari-hari bagi masyarakat Indonesia. Seperti
tokoh Bambi (hakim) dalam cerpen Bambi dan Perempuan Berselendang Baby Blue,Ia
sering kali mengobral janji untuk memenangkan sidang di pengadilan. Obral
janji-janji palsu tidak hanya terjadi pejabat kekuasaan tertinggi. Namun,
pejabat setingkat kepala desa sudah menjadi hal yang biasa dirasakan oleh
masyarakat, seperti pada kutipan cerpen Tahi Lalat berikut:
Bulan depan adalah masa pendaftaran
calon lurah atau kepala desa di sini. Konon Pak Lurah akan mencalonkan kembali
untuk periode berikutnya. Tak ada yang bisa mencegahnya meski janji-janjinya
yang dulu ternyata palsu.
Selain kedua permasalahan
tadi, permasalahan yang terbesar di Indonesia ialah maraknya kasus korupsi. Kelicikan
kaum borjuis atau penguasa tidak dapat dipungkiri hingga merugikan keuangan
negara dalam jumlah yang sangat besar. Segala cara dilakukan untuk mendapatkan,
dan segala untuk menghindari hukuman. Berbagai cara tersangka kasus korupsi
menghindari pengadilan telah dijelaskan pada kutipan cerpen Sorot Mata Syaila
berikut:
Nanti, ketika berkas perkaraku
dilimpahkan ke kejaksaan untuk dibuat tuntutan, aku dapat informasi bahwa
statusku sebagai tersangka mau tak mau akan terbuka di kejaksaan. Pun sudah ada
yang memberi tahu bahwa kejaksaan akan meminta pihak imigrasi untuk mencekal
aku pergi ke luar negeri. Dan benar, ketika berita ramai tersiar bahwa aku
dicekal, posisiku sudah di luar negeri. Inilah enaknya punya jaringan khusus di
lembaga peradilan. Aku merasa sedikit beruntung kasusku ditangani mereka. Andai
yang menangani KPK, mungkin aku sudah meringkuk di sel.
Bagiku, pergi melakukan ibadah ke Tanah
Suci jauh lebih baik daripada pura-pura sakit ketika diproses secara hukum. Aku
toh berdoa sungguh-sungguh. Berita-berita dari tanah air menyatakan bahwa aku
buron sehingga beberapa lembaga antikorupsi ikut menempel posterku di
tempat-tempat umum. Tapi biarlah orang lain mau bilang apa. Setiap orang punya
cara sendiri-sendiri. Termasuk minta diselimuti dan diinfus di rumah sakit
kayak orang mau mati. Pura-pura kecelakaan nabrak tiang listrik juga biarlah.
Pura-pura mencret akut saat sidang juga ada.
Pada kutipan cerpen
tersebut, pada kalimat “Inilah enaknya punya
jaringan khusus di lembaga peradilan”. Dapat dikatakan bahwa
lembaga peradilan tidak sepenuhnya adil, ada unsur nepotisme maupun korup di
dalamnya. Adanya unsur nepotisme maupun korup dalam lembaga peradilan tentunya
akan mempengaruhi hasil sidang pada pengadilan, di mana keadilan akan menjadi
milik orang yang kaya. Seperti istilah yang saya sebutkan di atas “hukum akan
tajam ke bawah dan tumpul ke atas”.
Selain mengungkapkan
adanya nepotisme maupun korup, kutipan tersebut juga menyebutkan usaha terakhir
untuk menghindari proses pengadilan dengan berbagai taktik yang licik. Taktik
tersebut mungkin sudah tidak asing bagi kita seperti taktik pergi ke luar
negeri, berpura-pura sakit, berpura-pura mencret saat sidang, hingga yang
paling fenomenal ialah berpura-pura kecelakaan menabrak tiang listrik, seperti
yang dilakukan tersangka korupsi Setya Novanto.
Lebih parahnya lagi, hanya
untuk menyelamatkan dirinya sendiri, para kaum borjuis atau penguasa yang busuk, mengkambing hitamkan seseorang yang
sama sekali tidak bersalah. Bahkan, lebih kejamnya lagi mereka bisa saja
menghabisi siapa yang dianggapnya mengetahui perilaku busuk mereka. Hal itu terdapat pada kutipan cerpen Sepatu Jinjit
Aryanti berikut:
Beberapa jurus dia terdiam. Mungkin
mengingat detik-detik terakhir ketika dia diperintahkan, tepatnya dipaksa,
untuk menjebak lelaki yang telah banyak memberinya kesenangan dan keuntungan.
Lelaki berumur itu telah menjadi sasaran karena dia mengetahui banyak borok
yang dilakukan para pembesar. Kalau lelaki ini bisa diberesi, maka ada
pihak-pihak lain dalam lingkarannya yang bisa di kambing hitamkan sesuai
skenario yang dibuat. Dengan demikian borok itu tak jadi diusut. Ibarat
pewayangan, ketika Durna dan Sengkuni bersekongkol, maka jadilah semua itu.
Pada kutipan tersebut, dapat diketahui bahwa rakyat jelata hanyalah
menjadi boneka milik kaum borjuis atau penguasa. Rakyat jelata dipaksa
melakukan apa saja sesuai kemauan mereka (kaum borjuis atau penguasa), termasuk
menghabisi seseorang. Dengan kekuasaan mereka, rakyat jelata tidak bisa melawan
begitu saja, rakyat jelata hanya bisa mematuhi perintah dari mereka.
Para kaum borjuis atau penguasa memiliki sifat yang serakah. Dalam hal
harta, mereka hingga korupsi dan merugikan negara. Dalam hal tahta atau
kekuasaan, mereka saling menjatuhkan demi mendapatkan kedudukan yang tinggi.
Dalam hal wanita, mereka tidak puas jika hanya punya satu saja, bahkan hingga
memiliki hubungan gelap dengan wanita lain, seperti pada kutipan cerpen Bambi
dan Perempuan Berselendang Baby Blue berikut:
Sialan lagi! Ketika sesi rumba berakhir,
saya melihat pasangan Bambi dan Miske tetap berangkulan sambil berjalan
meninggalkan arena. Ternyata kedua insan ini tidak memilih duduk, tapi berjalan
menuju lift. Saya perhatikan mereka hingga masuk ke ruang lift. Menutup dan
terus naik. Entah ke kamar nomor berapa. Bambi dan Miske ternyata telah
menjalin hubungan tidak hanya di lantai dansa dan mempermainkan peradilan,
namun telah sampai pula ke ceruk-ceruk yang sangat pribadi. Cuk!
Sementara itu, rakyat jelata selalu terintimidasi oleh petinggi. Pada tingkatan
lingkungan yang terkecil, rakyat jelata tidak mempunyai kebebasan sendiri.
Mereka terancam oleh tuntutan hasrat pribadi dari sang penguasa, seperti pada
kutipan cerpen Tahi Lalat :
Warga yang tinggal di tempat strategis,
melalui perangkat desa Pak Bayan, dirayu untuk menjual tanahnya dengan harga
yang lumayan mahal. Begitu tanah-tanah yang strategis itu terlepas dari
pemiliknya, Pak Lurah semakin gencar membujuk yang lain dengan cara
memanggilnya ke kantor kelurahan.
“Kalau tidak mau menjual, akan dipagari
oleh pengembang perumahan,” begitulah kata-kata intimidasi yang sering
dilontarkan Pak Bayan kepada warga.
Rakyat jelata bagi para kaum borjuis atau penguasa hanyalah alat untuk
pemuas hasrat diri dan boneka yang dapat dimainkan seenaknya. Seperti pada
kutipan di atas, rakyat jelata dipaksa untuk menjual tanahnya, jika tidak mau
menjual, maka tanahnya akan dipagari. Hal serupa juga terdapat pada kutipan
cerpen Sepatu Jinjit Aryanti :
Aku adalah bagian dari persekongkolan
itu. Tapi aku dalam posisi tak berdaya karena perintah atasan yang tak boleh
ditolak. Aku tetaplah seorang manusia yang mempunyai pikiran dan rasa yang
waras. Aryanti tentu juga demikian. Dia dalam posisi tak berdaya. Memang aku
dan Aryanti adalah bagian dari pelaku persekongkolan itu.
Tapi, dan inilah sebenarnya, kami berdua
tidak lain adalah objek. Apa yang kami lakukan bukanlah untuk kepentingan kami
sendiri. Yang lebih menderita tentu Aryanti karena tak boleh berkomunikasi
dengan keluarga dan teman-temannya. Jalur komunikasinya telah disadap dengan
sempurna. Dalam tubuhnya seperti telah ditanami microchip sehingga pergerakannya bisa dipantau melalui
layar monitor.
Pada kutipan tersebut, rakyat jelata terlihat jelas tak lain hanyalah
sebagai mainan yang harus patuh pada pemainnya. Bagaimana pun bentuk perintah
itu, entah waras atau tidak, rakyat jelata sebagai mainan para kaum borjuis atau
penguasa, harus menurutinya. Tidak hanya diberikan perintah yang tak waras,
demi kepentingan para kaum borjuis atau penguasa, rakyat jelata juga seringkali
dipisahkan dengan keluarga, dengan cara tidak boleh berkomunikasi, hingga
dijauhkan darinya. Terlebih lagi rakyat jelata selalu diawasi gerak-geriknya
agar tidak bisa melakukan perlawanan terhadap kaum borjouis atau penguasa.
Rakyat jelata mau tidak mau harus melaksanakan perintah tanpa protes
sepatah kata. Kebebasan bersuara rakyat jelata dibungkam oleh para kaum borjuis
atau penguasa. Kebebasan rakyat jelata bagi para kaum borjuis atau penguasa
hanya ada di tangan mereka. Hal itu seperti dalam kutipan cerpen Jangan ke
Istana, Anakku berikut:
Seperti biasa, istana tetap tak ramah.
Para penjaga juga tetap tak boleh kumpul bersama. Kami dipisah sendiri-sendiri.
Tidur sendiri-sendiri. Makan sendiri-sendiri. Berkumpul hanya ketika dikomando
di lapangan terbuka untuk urusan jaga semata. Komunikasi antar penjaga hanya
ketika berpapasan, atau mencuri kesempatan ketika dikumpulkan.
Bagi mereka para kaum borjuis
atau penguasa, semua adalah milik mereka. Hak untuk hidup seakan-akan tidak
dimiliki oleh rakyat jelata. Segala urusan diatur oleh negara dan penguasanya. Rakyat
jelata hanya bisa pasrah dengan apa yang ada. Seperti dalam kutipan cerpen Jangan
ke Istana, Anakku berikut:
Istana yang laknat. Mengapa aku, istri,
dan anak kesayanganku, semua diganyang oleh istana. Sudah sering aku melihat
kejadian serupa. Perempuan muda dibawa masuk dihadapkan baginda. Lalu musnah
tak ada ceritanya.
Dari kelima cerpen terebut dapat
disimpulkan bahwa di Indonesia banyak sekali penyalahgunaan kekuasaan,
intimidasi penguasa, kasus korupsi, nepotisme, pelarian diri tersangka kasus
dari persidangan, dan hak bersuara rakyat yang dibungkam. Namun, pada faktanya
tidak semua kaum borjuis atau penguasa melakukan hal itu semua. Sebagian dari
mereka ada yang bersikap adil dan peduli terhadap rakyat. Apa yang disebutkan
dalam kelima cerpen tersebut hanyalah kasus yang sering terjadi di Indonesia.
Demikian pembahasan kritik dan
esai cerpen karya M Shoim Anwar dengan tema “Representasi sosial, hukum dan
politik di Indonesia”. Apabila ada kesalahan mohon dikoreksi dengan kriik dan
saran. Terima kasih.
0 Response to "Representasi sosial, hukum dan politik di Indonesia dalam cerpen karya M. Shoim Anwar"
Posting Komentar