Kritik dan Esai Cerpen Sulastri dan Empat Lelaki

 

Foto Laut Merah

Kritik dan esai cerpen Sulastri dan Empat Lelaki

Cerpen Sulastri dan Empat Lelaki merupakan cerpen karya M Shoim Anwar yang dipublikasikan pada tanggal  5 Desember 2011. Cerpen tersebut secara singkat menceritakan seorang Sulastri yang menjadi imigran gelap di negeri Timur Tengah. Sebagai seorang imigran gelap, Sulastri berusaha menyelamatkan dirinya dari kejaran seorang polisi yang ingin menangkapnya dan kejaran seorang lelaki (Firaun) yang ingin menjadikannya sebagai budak. Lihat selengkapnya di lakonhidup.com.  Dari cerpen tersebut dapat beberapa masalah yang termuat, antara lain sebagai berikut:

 

Ideologi

Idelogi pada setiap manusia pada dasarnya berbeda satu sama lain dan tidak bisa dipaksakan orang lain untuk menerimanya. Pada cerpen Sulastri dan Empat Lelaki, tokoh Sulastri menganggap dirinya sendiri sebagai orang yang kecil, lemah, tidak bisa berbuat apa-apa. Jadi, yang ada dipikiran Sulastri bahwa perempuan tidak akan bisa tanpa suaminya atau bantuan orang lain. Pemikiran yang seperti itu membuat Sulastri selalu bergantung pada suaminya dan orang lain. Hal tersebut dapat diketahui pada kutipan dialog antara Sulastri dengan Musa berikut:

 

“Suamimu seorang penyembah berhala. Mengapa kau bergantung padanya?”

“Saya seorang perempuan, Ya Musa.”

 

Sedangkan pada tokoh Firaun, Ia menganggap bahwa dirinya adalah orang yang berkuasa atas segalanya sehingga menyebut dirinya sebagai tuhan. Firaun tak segan-segan menjadikan orang sebagai budaknya dan menyuruhnya untuk menyembah dirinya. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut:

 

“Hai, jangan berlari! Kau datang ke sini untuk menghambakan diri. Kau adalah budak milik tuanmu. Tunduklah ke hadapanku!”

 

Jika dihubungkan dengan kenyataan yang ada di Indonesia dan negara lain kedua tokoh tersebut memiliki contohnya masing-masing. Pertama, tokoh Sulastri, mencerminkan masyarakat yang pada dasarnya pemalas tidak mau berusaha keras sendiri, selalu menginginkan kekayaan dengan jalan pintas tanpa berusaha keras. Jalan pintas yang sering digunakan masyarakat Indonesia antara lain; pesugihan, mencuri, dan korupsi. Kedua, tokoh Firaun merupakan cerminan dari pejabat-pejabat tinggi yang merasa berkuasa atas segalanya. Seorang pejabat yang menindas rakyat jelata dengan kekuasaanya. Selain itu Firaun juga merupakan cerminan dari masyarakat luar negeri yang memandang rendah masyarakat Indonesia, ketika masyarakat Indonesia berada di negaranya.

 

Perbedaan ideologi pada cerpen Sulastri dan Empat Lelaki tidak hanya ditemukan secara individu dengan individu, namun juga ditemukan perbedaan ideologi secara negara dengan negara. Masyarakat di negara Indonesia menganggap bahwa setiap individu manusia telah merdeka sejak lahir. Hal tersebut berbeda pada masyarakat di negara Timur Tengah, khususnya di sekitar Laut Merah. Mereka menganggap bahwa tidak semua manusia merdeka sejak lahir, namun, manusia dapat dikatakan merdeka jika dibayar dengan uang atau terlepas dari perbudakan. Seperti yang telah dikatakan oleh Firaun berikut:

 

 “Ooo…siapa yang telah membayar untuk membebaskanmu? Semua adalah milikku. Semua adalah aku!”

 


Politik

Dari segi politik, permainan uang diantara polisi tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Namun juga terdapat di luar negeri, khususnya yang disebutkan oleh pengarang pada cerpen Sulastri dan Empat Orang Lelaki karya M Shoim Anwar. Permainan uang di negara – negara Timur Tengah terjadi pada saat proses penangkapan imigran gelap (warga asing yang tidak memiliki paspor dan visa atau yang memiliki tetapi masa berlakunya sudah habis) melalui perantara yang bisa disebut sebagai mafia untuk dideportasi kembali ke negara asalnya. Imigran gelap tidak secara langsung ditangkap oleh polisi tanpa adanya imbalan. Deportasi imigran gelap tersebut berawal dari berkumpulnya imigran gelap dengan membawa sejumlah uang yang ditentukan untuk membayari perantara serta polisi yang akan menangkapnya. Dari penangkapan tersebut polisi mendapatkan imbalan uang per orangnya yang dibagi hasil dengan perantara tersebut.

 

Politik uang pun dibicarakan dalam cerpen Sulastri dan Empat Lelaki. Politik uang tersebut terjadi di Indonesia, dimana calon pejabat atau penguasa membutuhkan masyarakat saat kampanye saja. Dengan cara yang kotor agar mendapatkan suara rakyat, calon-calon pejabat atau penguasa mengobral janji-janji palsu yang manis, bahkan tak segan juga untuk menyuap masyarakat agar mereka memilihnya. Akan tetapi, ketika calon pejabar atau penguasa ini telah memenangkan kampanye mereka tidak peduli lagi dengan masyarakat yang telah mendukungnya. Hal tersebut dapat ditemukan pada kutipan cerpen berikut:

 

“Para pemimpin negerimu juga tak bisa menolong. Kau hanya dibutuhkan saat pemilu. Setelah itu kau dijadikan barang dagangan yang murah.”

 

Sosial dan Budaya

Budaya makan gaji buta hampir terjadi pada semua polisi, tidak hanya polisi saja, namun juga pada setiap orang yang memiliki pekerjaan dengan gaji tetap. Pada cerpen Sulastri dan Empat Orang Lelaki karya M Shoim Anwar dapat diketahui terdapat polisi yang makan gaji buta. Hanya pada awalnya saja seorang Polisi tersebut bertugas menjaga kawasan dengan niat ketika Sulastri melewati tanggul. Namun, ketika Sulastri melewati area tanggul sekali lagi, Polisi tersebut tidak menghiraukan Sulastri meskipun Ia mengetahui ada Sulastri yang sedang lewat area tanggul. Berikut kutipannya:

 

Di ujung tanggul  Sulastri kembali berdiri. Persis di tempat yang tadi ditinggalkan. Sang polisi melihatnya dari kejauhan. Kali ini lelaki itu tak ingin repot, bibirnya mengatup hingga kumisnya tampak makin tebal.

 

Pada kenyataannya juga sama, kebanyakan polisi menjalankan tugasnya sesukanya saja, tidak konsisten terus menurus meskipun pada jam kerja. Seperti hanya polisi di Indonesia, mereka hanya mau menjalankan tugasnya apabila mendapatkan imbalan atau dilihat oleh atasannya. Contoh tersebut sudah jelas dapat dilihat dalah kehidupan sehari-hari, pada polisi lalu lintas khususnya. Dalam kesehariannya, polisi lalu lintas sering mengadakan operasi zebra untuk menilang pengendara yang melanggar aturan lalu lintas. Hal itu sering diadakan karena polisi tersebut bisa mendapatkan uang dengan membujuk pengendara yang melanggar lalu lintas agar tidak terkena tilang dari polisi. Namun berbeda keadaannya dengan tugas polisi yang lain. Yakni mengatur lalu lintas agar tidak terjadi kemacetan. Tugas tersebut seringkali dilaksanakan oleh polisi sesuka hatinya, bahkan sering diabaikan hanya karena tidak akan memberi imbalan kepada polisi.

 

Ketidaktanggung jawaban seorang suami dalam menafkahi keluarga dimunculkan pada cerpen Sulastri dan Empat Lelaki. Pada cerpen tersebut, Markam tidak bisa bertanggungjawab menafkahi keluarganya. Istri dan anak-anaknya dibiarkan bertahan hidup sendiri, tanpa dipedulikan sedikitpun, Ia hanya mementingkan kesenangan dirinya sendiri. Pikiran Markam hanyalah kesenangan dirinya saja, hingga Ia juga meninggalkan pekerjaannya demi kesenangannya tersebut.

 

Pada faktanya, di dunia ini masih banyak seorang suami yang tidak bertanggungjawab dalam menafkahi istri serta anak-anaknya. Seorang istri hingga rela mati-matian menafkahi keluarga seorang diri. Sedangkan, sang suami hanya memikirkan kesenangan dirinya saja.

 

Keserakahan dan ketidakadilan penguasa di Indonesia terjadi dimana saja. Banyaknya para penguasa yang korup dan tidak menghiraukan lingkungan sekitarnya. Kekayaan alam Indonesia yang dieksploitasi secara habis-habisan, seperti yang dilakukan PT Freeport. Ketidakadilan yang terjadi antara masyarakat kecil dengan para penguasa. Masyarakat kecil selalu tertindas dengan aturan-aturan penguasa yang seenaknya sendiri. Keadilan hanyalah menjadi impian saja. Penguasa selalu menjanjikan keadilan, namun ketidakadilan yang selalu terjadi. Ketidakadilan dan keserakahan tersebut terdapat pada kutipan cerpen berikut:

 

“Kami menderita, Ya Musa.”

“Para pemimpin negerimu serakah.”

“Kami tak kebagian, Ya Musa”

“Mereka telah menjarah kekayaan negeri untuk diri sendiri, keluarga, golongan, serta para cukongnya.”

“Kami tak memperoleh keadilan, Ya Musa.”

“Di negerimu keadilan telah jadi slogan.”

 

Ekonomi

Berbicara mengenai ekonomi, pada dasarnya ekonomi setiap keluarga hingga setiap negara berbeda-beda, ada yang kaya da nada pula yang miskin. Pada cerpen Sulastri dan Empat Lelaki tersebut menceritakan tentang seorang Sulastri yang merupakan seseorang dari kalangan ekonomi tidak mampu.

 

Seperti yang terdapat pada cerpen tersebut bahwa keadaan ekonomi negara dikendalikan oleh pabrik-pabrik, investor, dan pemerintah. Harga bahan pokok atau dasar produksi yang biasa dijual oleh masyarakat dipermainkan seenaknya oleh pabrik-pabrik besar, hingga masyarakat mengalami kesusahan. Hal tersebut dapat ditemukan pada kutipan cerpen berikut:

 

“Tanam tembakau di tepi bengawan makin tak berharga. Dipermainkan pabrik rokok. Aku tak sanggup begini terus.

 

Lapangan pekerjaan di Indonesia juga dijelaskan oleh pengarang bahwa lapangan pekerjaan yang ada di Indonesia ini sangatlah kurang. Banyak masyarakat yang menganggur tidak mempunyai pekerjaan karena tidak ada lapangan pekerjaan yang tersedia. Akibatnya, masyarakat yang tidak mempunyai tersebut mengalami kemiskinan. Hal tersebut terdapat dalam kutipan dialog antara Sulastri dengan Musa berikut:

 

“Negeri kami miskin, Ya Musa.”

“Kekayaan negerimu melimpah ruah. Kau lihat, di sini kering dan tandus.”

“Kami tidak punya pekerjaan, Ya Musa.”

 

 

Religi

Dari sisi religi, dapat diketahui bahwa adanya kemusyrikan terhadap benda benda pusaka. Markam yang merupakan suami Sulastri, selalu melakukan pertapaan demi mendapatkan benda-benda pusaka dari usaha pertapaanya tersebut. Meskipun tidak pernah mendapatkan hasil apa-apa Markam tetap saja melakukan pertapaan hingga meninggalkan istri dan anaknya dalam kesengsaraan. Dalam agama perilaku tersebut dapat dikatakan sebagai musrik karena mengabdikan dirinya pada kuburan dan menyembah benda berhala. Hal tersebut dapat ditemukan pada kutipan dialog berikut:

 

 “Kau bukan Siddhartha, sang pertapa Gotama dari Kerajaan Sakya yang pergi bertapa meninggalkan kemewahan. Istri dan anaknya ditinggal dengan harta berlimpah. Tapi kau meninggalkan kemelaratan untuk aku dan anak-anak!”

 

Berbicara mengenai agama, seharusnya tokoh Markam tidak melalukukan pertapaan demi mendapat benda-benda pusaka. Pertapaan yang sia-sia jika dilakukan terus menerus tidak membawa manfaat apapun selain melunturkan keimanan kepada Tuhan yang Maha Esa karena mempercayai benda-benda pusaka. Terutama jika pertapaan tersebut hingga membuat istri dan anak-anaknya dalam kemelaratan karena mengabaikan tanggung jawabnya sebagai seorang kepala keluarga. Dalam agama manapun, hal tersebut dapat dikatakan dosa karena tidak memenuhi kewajiban sebagai seorang suami.

 

Akan berbeda lagi jika pertapaan yang dilakukan demi mencari keberadaan Tuhan yang Maha Esa dan mencari arti kehidupannya di dunia ini, serta tetap memenuhi kewajibannya sebagai seorang kepala keluarga. Pertapaan yang semacam itulah yang tidak akan menambah dosa, justru akan menambah pahala.

 

Begitu pula dengan tokoh Sulastri. Pada cerpen tersebut Sulastri juga merupakan seseorang dengan keimanan yang rendah. Ia sangat ketakutan dengan manusia lain (disebutnya Firaun) yang bertubuh dempal, otot kekar, dan bermuka seram, tidak dengan Tuhan yang Maha Esa. Hal tersebut terdapat pada kutipan cerpen berikut:

 

Sulastri terus berlari. Firaun melangkahkan kakinya, makin cepat dan cepat, lalu berlari. Bunyi mendebam terasa di atas tanggul. Dari kejauhan terlihat seperti gadis kecil dikejar oleh raksasa. Firaun menyeru-nyeru agar Sulastri berhenti, tapi yang dikejar tak menghirau. Jarak pun makin dekat. Sulastri makin memeras tenaga. Polisi penjaga pantai sudah pasti tak menolognya. Sementara Firaun melejit makin garang. Sulastri meloncat dari atas tanggul.

 

Sulastri pun juga sangat memohon-mohon pelindungan, serta lebih percaya dengan manusia lain (disebutnya Musa) ketimbang memohon perlindungan kepada Tuhan yang Maha Esa. Melihat bagaimana cara Ia memohon kepada manusia lain, Sulastri tidak  ingat bahwa Tuhan selalu dapat dimintai pertolongan dan perlindungan kapan pun dan dimana pun. Hal itu terdapat pada kutipan dialog antara Sulastri dengan Musa berikut:

 

“Tolonglah saya, Ya Musa.”

“Para pemimpin negerimu juga tak bisa menolong. Kau hanya dibutuhkan saat pemilu. Setelah itu kau dijadikan barang dagangan yang murah.”

“Tolonglah saya, Ya Musa….”

 

Tak hanya pada masalah keimanan, Sulastri juga salah cara dalam mencari rezeki. Dalam cerpen tersebut dapat dikatakan bahwa Sulastri memasuki negeri orang lain dengan illegal, tanpa izin yang resmi. Sebagaimana dalam Agama Islam, tidak diperbolehkan baginya seorang muslim yang memasuki rumah orang lain sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya (Q.S An-Nur ayat 27). Bukti bahwa Sulastri seorang imigran gelap terlihat jelas pada kutipan dialog Musa berikut:

“Kau masuk ke negeri ini secara haram. Bagaimana aku bisa menolongmu?” jawab Musa dengan suara besar menggema.

 

0 Response to "Kritik dan Esai Cerpen Sulastri dan Empat Lelaki"

Posting Komentar

Blog ini dilindungi oleh DMCA